Aku kembali menangis. Bukan lagi dalam sujudku seperti biasa ketika kumulai lantunan lafaz doa. Kini aku menangis, membiarkan air mataku membasahi kemeja birunya. Mengabaikan keraguannya memelukku, membuatnya dalam dilemma.
Aku tahu pasti sang adam yang detak jantungnya berderap kencang di telingaku tak ingin membiarkan kulit kami terlalu lama bertaut. Dia paham ilmu yang telah mendarah daging dalam dirinya. Dia tak bisa mengabaikan semua itu demi mengeringkan air mataku. Tapi dia masih tak bergeming, dia masih membiarkan kuyup di kemejanya melebar.
Air mataku tak jua menuruti pikiranku yang menginginkannya berhenti. Buih bening itu terus membandel membuat semua kata tercekat di kerongkonganku karena isaknya. Hanya degup jantungnya dan isak tangisku yang memenuhi ruang kecil dengan papan nama ukm ‘Forum Islam Matematika” senja itu. Aku dan dia mematung dalam posisi yang sungguh sebenarnya pantas mendapatkan ganjaran setimpal sesuai kepercayaan kami. Dosa.
Sayup lantunan ayat Al-Qur’an dan puji-pujian mulai terdengar menguasai langit senja. Sebentar lagi adzan maghrib, panggilanNya untuk mengingatNya. Dia menyadari itu, rengkuhan tangannya mengendur karena gelisah yang mulai menguasainya.
Aku tersentak.
Tak aku sangka dia mengangkat daguku, mengusap sisa air di mata sembabku. Kurasa jantungku kini berdegup lebih kencang dari suara jantungnya yang mulai kunikmati. Dia menatap lurus mataku, mengambil semua resiko mengabaikan ilmunya.
“Ukh…”
“Maaf ‘bie… aku tak bisa membuangmu di sudut hatiku. Kamu mengusik tiap waktu yang tak seharusnya aku lebih memikirkanmu. Membiarkan sujudku tak lagi menenangkan hatiku. Aku mencintaimu ‘bie”,potongku cepat secepat tanggul mataku jebol oleh bah yang tak terbendung lagi.
Dia terbelalak menatapku tak percaya. Tapi pandangannya yang nanar perlahan kembali teduh menyapu hatiku yang bergelora. “Tak bisakah kau membiarkanku mengucapkannya dulu”,desahnya lembut namun terluka.
Adzan menggaung selaras kelelawar yang berkepak riuh dari hutan kecil di ujung kampus. Pergantian siang dan malam yang seharusnya di penuhi dengan ibadah. Semua itu menamparku dan dia yang terlunglai di hadapanku. Lumuran dosa terasa makin melingkup.
“Alhamdulillah”
Ucap isyarat mulutnya yang kubaca. Jelas bukan untuk keselarasan rasa yang terungkap. Tapi karena kami merasa dosa itu. Bahagia punya Dia yang membatasi jalan kami agar tetap lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar