Hati yang kosong terasa berdebu, digerogoti sarang laba yang menggantung, terkorosi asin tangis yang kerap menetes tak jua berhenti. Seinci lilin tersisa dengan api mungil yang menari tiada cukup menyingkirkan kosong. Hanya kelap kelip, secuil memberi warna, buat sedikit lengkungan senyum. Kapan putih itu kan sampai, dengan bening cermin mematut pribadi. Dengan kejujuran tak berbantah, dengan semu merah jambu buat diri melayang, bermain di langit ketujuh bersama para peri.
Harapan itu ada, mimpi itu nyata, ketika uluran tangan meraba dan menggapai, semua mendekat untuk digenggam. Dalam satu genggaman yang ketika jari mulai lelah menggenggam dan akhirnya terbuka. Sebuah ceria yang nyata ada di depan mata, bukan lagi buat senyum namun beri tawa dan menuntut bahagia.
Kau tahu mengapa biru lemah. Karena dia mendekati putih tanda kesucian. Karena dia membias ungu kelam ketika merah mendekatinya. Karena hijau kan tersipta ketika dia bersama kuning.
Kau tau kenapa biru ceria. Karena dia selalu dapat membias sesuai lingkungan.
Semua punya dua sisi, seperti mata uang yang selalu punya gambar dan angka. Ketika kau jeli melihatnya, dua sisi itu bukanlah baik dan jahat. Namun dua sisi itu adalahkelengkapan yang buat unik sebuah pribadi.
Kau tak bisa menuntut hanya sisi baik yang bisa kau terima, karena kau akan bosan dan mulai bermain dengan yang lain. Dan kau tak harus men-judge seseorang jahat, karena sisi baiknya tengah berjuang untuk muncul kepermukaan.
Ketika kau bisa bercermin, kau tahu apa yang kau mau. Dunia tak akan berwarna dengan putih, namun dia indah karena dibias hitam.
Tak cukup mentari cipta pelangi, karena mentari pun butuh hujan yang kan bias sinarnya menjadi berwarna, melengkungkan senyum pelangi.
Semarang
20 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar